Lulus S1 Akuntansi: Langsung Kerja, Ambil S2 atau Pendalaman Profesi Akuntan?
Dikutip dari: Jurnal Akuntansi KeuanganIni curhat salah satu admin JAK (behind the scene), beberapa hari yang lalu, yang terpaksa saya dengarkan sambil membereskan peresentasi. “Bro, entar lagi gue lulus [red: S1 Akuntansi], bagusnya langsung kerja, ambil master degree (S2) atau Pendalaman Profesi Akuntan.”
Sebenarnya saya ingin becandain dia dengan pertanyaan “memangnya kamu yakin bisa lulus tahun ini?,” tetapi melihat usahanya yang begitu gigih untuk merampungkan skripisinya (yang sering melek sampai pagi), saya tidak tega. Hahaha…...
Bisa dibilang ini pertanyaan yang lumrah, dalam pengertian bisa terjadi pada siapapun yang baru menyelesaikan S1 Akuntansi—terutama yang memiliki kesempatan untuk memilih. Akan sangat berbeda bagi mereka-mereka yang sama seperti saya—tidak punya pilihan lain selain langsung cari kerja. Lah, bisa kuliah S1 hingga kelar saja saya sudah sangat bersukur.
Tapi saya bisa mengerti bahwa, punya cukup uang untuk memilih rute study dan karir, bukan berarti bisa menentukan pilihan tanpa pertimbangan yang matang. Bagimanapun juga, kemampuan finansial sifatnya tidak tak-terbatas. Artinya, masih perlu berhitung untung-ruginya, terutama waktu yang sampai saat ini masih menjadi constraint utama manusia manapun—termasuk mereka-mereka yang mampu dari aspek finansial.
Itu sebabnya mengapa saya (atas persetujuannya) mengangkat topik ini menjadi tulisan. Dengan harapan, mungkin ada manfaatnya bagi orang banyak—terutama yang sedang berada dalam situasi yang sama.
Terhadap pertanyaan admin JAK tersebut, saya hanya bisa berpendapat sebatas yang saya tahu, pernah saya jalani dan alami sendiri. Mari kita lihat sisi baik dan sisi buruk dari masing-masing pilihan ini: (1) langsung kerja; (2) Ambil S2; (3) Pendalaman profesi.
1. Lulus S1 Akuntansi Langsung Kerja
Inilah pilihan saya. Bukan karena yang terbaik, tetapi karena memang tak punya pilihan lain. Tentu saya sangat berharap bisa meneruskan study atau mengambil pendalam profesi untuk spesialisasi. Sayang, saya tidak punya cukup uang. Biaya study PPAk, saat itu, sekitar Rp 12 juta dan study S2 Rp 17 s/d 18 jutaan.Saya masih ingat; selesai wisuda, uang yang tersisa hanya beberapa ratus ribu saja. Ada sisa itupun bukan karena orang tua saya punya uang lebih, melainkan karena mereka batal datang menghadiri wisuda saya—oleh sebab tertentu, sehingga uang yang rencananya untuk sewa mobil, tak jadi terpakai.
Beruntung, kakak kelas yang sudah bekerja menginformasikan adanya lowongan kerja di kantornya. Sebuah Kantor Akuntan Publik yang jumlah pegawainya saat itu masih belasan orang saja. Sekitar 5 tahun bekerja di sana, saya mulai jenuh dengan rutinitas yang dari bulan-ke-bulan, tahun-ke-tahun, pekerjaannya itu-itu saja. Bisa dibilang hanya beda nama dan alamat klien, sedangkan esensi pekerjaan, kasus dan tantangannya masih itu-itu saja.
Disamping karena jenuh oleh rutinitas, yang paling membuat saya tertekan saat itu adalah hilangnya kesempatan untuk meneruskan study yang menjadi impian saya sejak lulus kuliah.
Meskipun gaji masih tergolong kecil (jauh jika dibandingkan dengan KAP-KAP besar), dari aspek finansial seharusnya saya sudah bisa mengambil minimal program PPAk, Auditor, atau sejenisnya. Bisa dibilang lebih dari cukup. Tetapi waktunya yang benar-benar tidak memungkinkan. Nyaris setiap hari saya pulang di atas pukul sepuluh malam. Sampai di rumah mandi langsung tidur—agar besok pagi-pagi sudah bisa bekerja dengan kondisi segar kembali. Himpitan deadline dan volume pekerjaan seolah tembok baja yang membuat diri saya nyaris-nyaris tidak menemukan cukup oksigen untuk bernafas.
Memasuki tahun ke-6, daya tahan stress saya benar-benar jebol. Satu-satunya tekad saya saat itu adalah “saya harus keluar dari tembok penjara ini”. Saya ingin melihat alam lain, saya ingin mengenyam pengalaman dan pengetahuan lain. Saya ingin mengembangkan potensi saya—selebar lebarnya, seluas-luasnya.
Akhirnya saya mengambil cuti panjang secara paksa. Mengapa secara paksa? Jangankan minta cuti panjang, minta ijin sehari-dua haripun tidak pernah diijinkan oleh senior, kecuali sakit. Dalam masa cuti itulah saya banyak berpikir, termasuk ngobrol dengan kawan-kawan lain—baik yang bekerja di KAP lain maupun yang bekerja di luar KAP.
Entah apa yang mengetuk pintu hatinya, senior yang di kantor begitu strict, tiba-tiba menghubungi saya—saat masih dalam masa cuti—dan merekomendasikan untuk bekerja di sebuah perusahaan asing yang berkantor pusat di luar negeri tentunya. Tanpa pikir panjang, akhirnya saya mengiyakan.
Beruntung, tahun ke-2 bekerja di perusahaan asing tersebut, saya dikirim ke kantor pusat mereka—untuk program pengembangan karir, sebelum memasuki level management. Seharusnya saya hanya perlu menjalani program tersebut selama satu tahun saja, tetapi saya pikir bisa mengambil evening-class untuk post-graduate.
Dan sekalilagi keberuntungan itu menghampiri saya, management perusahaan—terutama CEOnya sangat mendukung rencana itu, karena mereka menganggap study yang akan saya ambil akan menjadi tambahan managerial skill bagi diri saya—yang tentu pada akhirnya akan menjadi aset perusahaan juga.
Jadilah saya mengambil post-graduate di sana. Tetapi karena orientasi saya saat itu adalah managerial dan business skill, maka saya mengambil disiplin ilmu yang sedikit melenceng dari akuntansi, yaitu business school, dengan konsentrasi financial management.
Tentu saja akuntansi masih sangat terpakai, tetapi orientasinya lebih banyak ke dalam (internal use). Yang lebih banyak ditekankan adalah penggunaan informasi keuangan (termasuk data dan laporan keuangan) sebagai input untuk pengambilan keputusan dan penyusunan strategi bisnis.
Bekerja terlebih dahulu baru kemudian melanjutkan study merupakan keuntungan tersendiri bagi saya, yaitu: bisa memahami konsep dengan lebih cepat. Meskipun tidak sepenuhnya, rata-rata konsep yang diajarkan sudah saya alami terlebih dahulu dalam pekerjaan.
Dari sini, saya meyakini bahwa setiap konsep yang ada didalam suatu bidang keilmuan—termasuk manajemen keuangan dan bisnis, digali dari suatu pengalaman praktek di lapangan terlebih dahulu, yang kemudian disusun menjadi suatu formula, postulate, konsep, prinsip, standar dan sejenisnya.
Dengan mengalami terlebih dahulu, konsep-konsep, postulate-postulate, prinsip-prinsip, asumsi-asumsi menjadi lebih mudah saya cerna. Sehingga logika yang ada di balik suatu konsep bisa saya pahami dengan lebih cepat. Paling tidak, itulah yang bisa saya lihat sebagai suatu kelebihan (atau keuntungan) jika memilih bekerja dahulu baru melanjutkan study.
Kecepatan memahami konsep membuat saya bisa melalui tahun pertama dengan mulus—nyaris tanpa hambatan—bahkan saya sampai memiliki cukup banyak waktu luang setelah bekerja dan kuliah.
Memasuki tahun ke-2, setelah mendapat ijin dari manajemen, saya memutuskan untuk mengejar obsesi saya sejak di awal, yaitu mengambil study pendalaman profesi, termasuk test untuk Certified Public Accountant (CPA).
Di titik ini saya baru merasakan beban ‘bekerja-sambil-melanjutkan-study’ yang sesungguhnya. Beban mental sekaligus fisik yang sungguh-sungguh berat. Bayangkan, saya harus bekerja 9-to-5 Senen sampai dengan Jumat. Sambil meneruskan research (S2), saya harus belajar mengikuti program pendalaman profesi untuk persiapan test CPA—yang menurut saya pribadi jauh lebih berat dibandingkan study S2.
Beban fisik dan mental yang begitu berat membuat kondisi fisik saya drop, hingga sakit-sakitan selama 4 musim—dari summer hingga summer lagi. Setiap kali melihat mahasiswa/mahasiswi yang bisa duduk-duduk santai di lounge kampus, diam-diam saya merasa iri sambil membayangkan: “Alangkah menyenangkannya jika saya bisa fokus study saja—tanpa dibebani oleh pekerjaan”.
Satu-satunya faktor yang membuat saya mampu melewati itu hanya tekad kuat dan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa.
Inilah, menurut saya pribadi, keburukan (kerugian) yang harus ditanggung jika memilih bekerja terlebih dahulu baru melanjutkan study sambil tetap bekerja. Jika memiliki cukup uang, khususnya test CPA, jauh lebih baik jika diambil sebelum bekerja—karena membutuhkan persiapan stamina yang ekstra-bagus untuk bisa menjalaninya. Itu menurut saya (tidak tahu orang lain). Sedangkan mengambil S2 sambil bekerja, sepanjang program study yang diambil seiring-sejalan dengan pekerjaan/profesi/jabatan yang dijalani sehari-hari, menurut saya, bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan.
Lulus S1 Akuntansi Langsung Ambil S2, Pendalaman Profesi, Baru Bekerja
Ini rute yang diambil oleh super-adminnya JAK. Mahasiswa PhD yang jarang ada di Indonesia ini memang berasal dari keluarga yang mampu, sehingga biaya study samasekali bukan hambatan baginya.Semalam saya sempat ngobrol denga beliau via Skype. Menurut pria yang bahasa lisannya sulit saya tangkap ini, menempuh rute seperti dirinya (lulus S1 langsung ambil S2, pendalaman profesi, baru kemudian bekerja), juga ada baik dan buruknya.
Dari penuturannya, saya menangkap bahwa, apa yang beliau alami adalah kebalikan dari pengalaman saya. Setelah selesai study S2 dan program pendalaman profesi, beliau masih harus terkaget-kaget menemukan fakta di lapangan yang seringkali berbeda jika dibandingkan dengan apa yang beliau peroleh melalui bangku kuliah:
- Fakta di lapangan jauh lebih rumit jika dibandingkan dengan konsep, postulate, prinsip, standar yang diajarkan di bangku kuliah; atau sebaliknya
- Fakta yang beliau temukan dilapangan ternyata jauh lebih gamblang/straight forward jika dibandingkan teori yang beliau peroleh di bangku kuliah.
Super-admin JAK yang jarang online ini manyarankan agar, mereka yang memilih rute seperti beliau (menyelesaikan semua study baru kemudian bekerja), sebaiknya mencari mentor yang berpengalaman untuk memandu selama masa transisi (dari study ke dunia profesional). Dengan panduan dari mentor yang sesuai, seseorang bisa melewati masa transisi dengan lebih cepat—sekaligus percepatan pertumbuhan karir, karena pada dasarnya sudah memiliki dasar kompetensi yang cukup.
Ternyata, apa yang saya perkirakan sebelumnya (bahwa akan sangat menyenangkan jika bisa hanya fokus ke studi-tanpa dibebani pekerjaan), tidak sepenuhnya benar. Kelamaan di kampus juga membuat proses transisi (dari dunia kampus ke dunia profesi) menjadi tidak mudah.
Lulus S1 Akuntansi Langsung Ambil Pendalaman Profesi Akuntan (PPAk)
Ini adalah rute yang diambil oleh kawan admin JAK lainnya, yang telah menikah dan dikaruniai seorang putra. Dan sungguh kebetulan dia menikahi teman seprofesinya (auditor). Begitu lulus S1 Akuntansi, kawan yang kalem dan babyface ini langsung mengambil program pendalaman profesi. Sedangkan Certified Internal Auditor (CIA) dan Brevet Pajak baru diambil setelah beberapa tahun bekerja dan menikah.Menurut kawan yang ngebet ingin ngambil Certified Management Accountant (CMA) ini, pilihan rute yang dia ambil adalah yang paling ideal dan sangat direkomendasikan bagi pemabaca JAK.
Saya setuju dengan pendapatanya; Lulus S1 Akuntansi, jika memang ada cukup uang, sebaiknya langsung ambil program pendalaman profesi—sehingga memiliki cukup kompetensi tetapi tidak terlalu lama menghabiskan waktu di kampus. Jikapun ada keinginan untuk meneruskan study hingga ke jenjang magister—untuk memperkuat kemampuan maagerial, bisa diambil sambil bekerja.
Secara keseluruhan, menurut saya, program pendalaman profesi akuntan (PPAk) adalah spesialisai yang dapat memperkuat kompetensi di bidang akuntansi. Sedangkan study Strata 2 (apapun konsentrasinya) bagus untuk memperkuat kemampuan managerial—yang tentu saja sangat vital jika ingin menapaki jenjang karir dengan level management, terlebih-lebih eksekutif.
Pekerjaan di sisi lainnya (di luar urusan study) cepat atau lambat sudah pasti harus dimasuki. Manapun rute yang akan diambil, ujung-ujungnya tetap saja akan mengarah ke pekerjaan. Sehingga, bekerja dahulu baru kemudian melanjutkan study (seperti yang saya lakukan) atau sebaliknya (seperti yang dilakukan oleh super-adminnya JAK) hanya perkara waktu, tinggal disesuikan dengan kesanggupan diri untuk menjalaninya.
Penting untuk saya sampaikan (setidaknya dari apa yang saya alami) bahwa: study formal—apapun jenis dan jenjangnya, hanya sebagian dari siklus proses pembelajaran. Lab di kampus-kampus hanya miniature laboratorium besar kehidupan—yang tentu saja tidak cukup sempurna untuk mewakili setiap detail pembelajaran hidup secara keseluruhan.
Bagus-atau-buruk-nya karir dipengaruhi oleh berbagai faktor di luar wilayah study formal. Pada titik tertentu, bahkan lebih banyak ditentukan oleh intuisi—yang tentu saja berasal dari pengalaman menjalani asam-garamnya profesi dan pekerjaan yang panjang—tidak semata-mata dari pengalaman memegang selembar kertas sertifikat atau melempar toga wisuda ke angkasa. Akhirnya, selamat berjuang untuk kawan-kawan calon akuntan handal. Masa depan bangsa dan bumi ini, sebagiannya ada di tangan anda!
Wahhhh postingan yang sangat menarik dan inspiratif, keep posting bro... :D
BalasHapusSangat membantu saya yang sedang bingung mau ambil rute nntinya
BalasHapussangat membantu sekali
BalasHapussangat membantu bagi pemula seperti saya...trimakasi kk sudah berbagi
BalasHapussalam hangat
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKeren bang. Moga jd ladang pahalamu
BalasHapusKr tulisanmu. Angananku keinginanku jd semakin jelas
Sangat membantu, saya jadi memiliki gambaran yg jelas ttg apa yg harus saya ambil nanti. Terima Kasih..
BalasHapus